Film Coldplay: A Head Full of Dreams

by - November 17, 2018

Tadinya saya pikir, film Coldplay: A Head Full of Dreams adalah liputan konser A Head Full of Dreams seperti yang pernah mereka buat sebelumnya dalam Coldplay Live 2012 saat tur Mylo Xyloto. Setelah nonton trailernya, Coldplay: A Head Full of Dreams ternyata film dokumenter tentang perjalanan karir Coldplay selama 20 tahun ini. 



Adegan dibuka dengan obrolan via telepon antara  Mat Whitecross sang sutradara dengan Chris Martin. Chris bilang ke Mat untuk tidak membuka film dengan menyorot masing-masing personel band naik ke atas panggung. Bagi Chris adegan tersebut terlalu standar untuk sebuah film dokumenter band.

Tapi Mat mungkin punya pertimbangan sendiri kenapa akhirnya tetap memilih adegan Chris Martin, Guy Berryman (bas), Will Champion (drum) dan Jon Buckland (gitar) yang bersiap naik panggung di sebuah gigs kecil di kota Camden tahun 1998 sebagai pembuka. Dari situ kita tahu bahwa Coldplay di awal karirnya ya sama saja kayak band-band kampus yang sering kita lihat sekarang.

Coldplay: #AHFODFilm ©coldplay.com


Chris Martin masih gondrong kriwul dan pakai kawat gigi, baju manggung mereka masih sangat biasa sekedar t-shirt and jeans, belum ada xyloband, tapi semangat mereka untuk ngeband udah keliatan terutama Chris Martin.

Seperti yang dibilang Guy Berryman, Chris Martin is a massive ball energy. Kamu bisa merasakan semangatnya saat ngomongin soal band, saat tiba-tiba dapet ide untuk bikin lagu, dan tentang keyakinannya bahwa Coldplay suatu hari akan jadi band yang sangat besar.  

Yang menurut saya bagus dari film dokumenter #AHFODFilm ini adalah editingnya. Adegan-adegan flashback dan fast forwardnya diramu cukup rapi, tapi kerasa banget lompatan emosinya. Dulu mereka udah seneng banget bisa manggung di pub kecil, sekarang mereka kudu siap ikut tur dunia yang bisa makan waktu 2 tahunan. Mana tiketnya sold out melulu...

Di beberapa bagian kadang bisa kedengeran suaranya Chris dan personel lainnya ikut bergetar kayak mau nangis waktu nyeritain footage yang lagi ditayangin. Mungkin itu juga alasannya kenapa di awal film Chris bilang kalau dia mungkin gak akan bisa nonton film ini. Terlalu emosional buat dia.

Film dokumenter tentang persahabatan

Film ini banyak ngasih tahu sisi lain Coldplay yang gak pernah kita tahu sebelumnya. Salah satunya, yang bikin band ini bisa bertahan (selain karena lagunya bagus) adalah nilai persahabatan yang kuat banget. Kalau biasanya band itu frontman-sentris, Coldplay ternyata gak begitu.

Seperti band-band pada umumnya, Coldplay terbentuk dengan basis pertemanan. Chris ini temen satu flatnya Jon Buckland waktu kuliah, dan sempet ngeband bareng berdua. Trus mereka sekelas sama Guy Berryman dan akhirnya kenal juga sama Will Champion, lalu jadilah Coldplay.


Manajernya saat itu juga temen deket mereka sendiri, Phil Harvey. Bahkan Mat Whitecross sang sutradara juga temen main mereka dari awal Coldplay belum berempat. Makanya gak heran kalo Mat punya banyak banget footage langka yang mungkin mereka sendiri lupa kalau kejadian itu pernah ada.

Di tahun 1999 waktu Coldplay mau rilis EP, Will Champion dikeluarkan dari band karena menurut produser permainan drumnya gak bagus. Pemecatan Will ini ternyata bikin Coldplay pincang. Udah berkali-kali audisi tapi tetep belum nemu yang cocok. Akhirnya Chris Martin minta maaf ke Will sekaligus minta dia untuk balik sama Coldplay.

Untungnya, Will mau. Syaratnya, Chris yang bukan peminum itu disuruh minum vodka sampai mabuk biar dia nyadar kalau apa yang dia lakukan ke Will itu jahat. Selain itu Will juga mau balik lagi ke Coldplay asalkan band ini pakai sistem demokrasi, jadi semua suara personel di band itu penting, gak bisa main asal pecat kecuali emang ngelakuin kesalahan fatal (drug).

Kalau saya ngeliatnya sih, emang kayaknya mereka sendiri yang maunya ngeband sesuai personel awal. Ngeband kadang bukan soal skill dan bisa bikin lagu bagus tapi juga soal chemistry (yak sotoy...). Mengutip pernyataan Chris: “Without the other three, each of us would be kind of screwed,”

A post shared by Coldplay (@coldplay) on

Cerita lain adalah soal manajer gantengnya Coldplay, Phil Harvey. Kalau kamu ngikutin Coldplay, pasti udah tahu kalo Phil sering disebut sebagai Coldplay’s fifth member. Phil ini juga yang ngurusin Coldplay dari mereka bukan siapa-siapa sampai akhirnya di tahun 2001 mereka menang Brit Awards 2001 sebagai Best British Band dan Best British Album (Parachutes).

Lha kok ternyata Phil justru keluar gak lama setelah acara awards itu. Alasannya sangat bisa dimengerti: Coldplay sudah mulai terkenal, sudah mulai terlalu ribet untuk ditangani Phil seorang diri sampai bikin depresi.

Selama absennya Phil, Coldplay mengaku kalau mereka kayak kehilangan arah. Seolah-olah semua keputusan yang mereka ambil itu salah. Ini kejadian waktu mereka bikin album X&Y. Phil gak ada di sana dan mereka merasa nggak utuh sebagai Coldplay.

Mungkin ini juga yang bikin X&Y buat saya jadi least favourite album. Secara implisit mereka sendiri mengakui kalau album X&Y ini "untungnya" ketolong sama Fix You, selebihnya they’re not really into it. Kalau kamu perhatiin juga, lagu-lagu di album X&Y ini ceritanya suram, banyak cerita tentang sesuatu yang incomplete, missing pieces, juga insecurites.

Lagu kesukaan saya di album X&Y juga cuma dua: The Hardest Part dan Speed of Sound. Maaf saya bukan jamaah Fix You meskipun lagu ini liriknya kuat banget dan sangat personal buat Chris Martin & Gwyneth Paltrow.

Lalu mungkin Coldplay gak betah untuk limbung berlama-lama, dan Phil mungkin juga merasa istirahatnya sudah cukup. Setelah album X&Y laris belasan juta kopi, Coldplay memutuskan untuk narik balik Phil ke tim manajemen. Saat itu Coldplay sudah dimanajeri oleh Dave Holmes, manajer mereka sampai sekarang dan Phil merasa Coldplay sudah berada di tangan yang tepat, jadinya Phil masuk sebagai Creative Director.

Ah brotherhood love, mereka sepertinya memang gak bisa lepas satu sama lain ya?.

Yang tidak diceritakan dalam film


Meskipun film ini banyak nampilin sisi lain Coldplay yang gak pernah kita tahu, tapi ada beberapa bagian penting yang menurut saya kurang digali. Pertama, tentang tekanan yang mereka rasain di dalam band.

Kalau kamu amati, tiap Coldplay selesai rilis album, mereka sering banget bilang bahwa album ini mungkin jadi album terakhir mereka karena kemarin udah habis-habisan banget bikinnya dan gak tau lagi gimana caranya bikin album yang lebih bagus dari ini.

Tapi tahun depan mereka udah bikin album baru lagi. What kind of sorcery is this? 

Apalagi kondisi mereka sekarang udah sangat jauh berbeda. Dulu mereka masih sekampus, seasrama, gampang ketemunya. Sekarang Chris Martin udah tinggal di LA sementara personel lainnya masih tinggal di London. Ketemu juga jarang. 

Trus apa dong rahasianya mereka bisa ngatasin semua masalah itu? What's your stress reliever?
A post shared by Coldplay (@coldplay) on


Kalau mau mengandalkan kecanggihan teknologi dan nilai-nilai persahabatan seperti cerita di atas sih ya mungkin memang bisa jadi cara untuk berkomunikasi, ngomongin proses kreatif dan sebagainya. Tapi saya percaya pasti ada cara lain di luar itu yang bisa bikin mereka masih tetap waras sampai sekarang. Sayangnya hal itu gak diceritain di dalam film.

Hal kedua yang menurut saya terlewat tapi sebenernya penting untuk diceritakan adalah perjuangan mereka menembus pasar Amerika. Yang ada dalam film cuma cerita pertama kali Coldplay manggung di Amerika tahun 2004, dimana mereka pertama main di sebuah festival musik dan harus berbagi panggung dengan band yang sudah punya nama seperti Papa Roach.

Saat itu belum banyak penonton Amerika yang tahu Coldplay, bahkan punya albumnya. Nah perjalanan mereka dari band yang clueless sama pasar Amerika trus sampai akhirnya bisa tampil di acara Super Bowl ini kan menarik untuk disimak.

Apakah pasar Amerika ini penting untuk Coldplay? Gimana rasanya menang Grammy? Trus apa bener duet ama Rihanna, Beyonce bahkan The Chainsmokers itu salah satu cara Coldplay untuk bisa diterima pasar Amerika? Why butterfly?

Mungkin itu pertanyaan klise, tapi rasanya sayang aja gak masuk di film dokumenter perjalanan karir 20 tahun Coldplay.

We want more!

Okay, rasanya saya gak pernah nulis sepanjang ini di blog. Pengen disingkat lagi tapi ya udahlah segini aja gapapa. Terima kasih sudah baca sampai titik terakhir. Semoga semakin banyak lagi film dokumenter atau film biografi band dan musisi yang tayang di bioskop karena nyanyi-nyanyi di bioskop itu seru gaes!

Buat yang kemarin gak sempat nonton di bioskop, bisa nonton di Amazon Prime atau beli DVDnya di negara tetangga. Info selengkapnya bisa dicek di instagram Coldplay

Akhir kata, i love you guys, as much as i love Coldplay, maybe. See you!













  












You May Also Like

0 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Film Coldplay: A Head Full of Dreams

Tadinya saya pikir, film Coldplay: A Head Full of Dreams adalah liputan konser A Head Full of Dreams seperti yang pernah mereka buat sebelumnya dalam Coldplay Live 2012 saat tur Mylo Xyloto. Setelah nonton trailernya, Coldplay: A Head Full of Dreams ternyata film dokumenter tentang perjalanan karir Coldplay selama 20 tahun ini. 



Adegan dibuka dengan obrolan via telepon antara  Mat Whitecross sang sutradara dengan Chris Martin. Chris bilang ke Mat untuk tidak membuka film dengan menyorot masing-masing personel band naik ke atas panggung. Bagi Chris adegan tersebut terlalu standar untuk sebuah film dokumenter band.

Tapi Mat mungkin punya pertimbangan sendiri kenapa akhirnya tetap memilih adegan Chris Martin, Guy Berryman (bas), Will Champion (drum) dan Jon Buckland (gitar) yang bersiap naik panggung di sebuah gigs kecil di kota Camden tahun 1998 sebagai pembuka. Dari situ kita tahu bahwa Coldplay di awal karirnya ya sama saja kayak band-band kampus yang sering kita lihat sekarang.

Coldplay: #AHFODFilm ©coldplay.com


Chris Martin masih gondrong kriwul dan pakai kawat gigi, baju manggung mereka masih sangat biasa sekedar t-shirt and jeans, belum ada xyloband, tapi semangat mereka untuk ngeband udah keliatan terutama Chris Martin.

Seperti yang dibilang Guy Berryman, Chris Martin is a massive ball energy. Kamu bisa merasakan semangatnya saat ngomongin soal band, saat tiba-tiba dapet ide untuk bikin lagu, dan tentang keyakinannya bahwa Coldplay suatu hari akan jadi band yang sangat besar.  

Yang menurut saya bagus dari film dokumenter #AHFODFilm ini adalah editingnya. Adegan-adegan flashback dan fast forwardnya diramu cukup rapi, tapi kerasa banget lompatan emosinya. Dulu mereka udah seneng banget bisa manggung di pub kecil, sekarang mereka kudu siap ikut tur dunia yang bisa makan waktu 2 tahunan. Mana tiketnya sold out melulu...

Di beberapa bagian kadang bisa kedengeran suaranya Chris dan personel lainnya ikut bergetar kayak mau nangis waktu nyeritain footage yang lagi ditayangin. Mungkin itu juga alasannya kenapa di awal film Chris bilang kalau dia mungkin gak akan bisa nonton film ini. Terlalu emosional buat dia.

Film dokumenter tentang persahabatan

Film ini banyak ngasih tahu sisi lain Coldplay yang gak pernah kita tahu sebelumnya. Salah satunya, yang bikin band ini bisa bertahan (selain karena lagunya bagus) adalah nilai persahabatan yang kuat banget. Kalau biasanya band itu frontman-sentris, Coldplay ternyata gak begitu.

Seperti band-band pada umumnya, Coldplay terbentuk dengan basis pertemanan. Chris ini temen satu flatnya Jon Buckland waktu kuliah, dan sempet ngeband bareng berdua. Trus mereka sekelas sama Guy Berryman dan akhirnya kenal juga sama Will Champion, lalu jadilah Coldplay.


Manajernya saat itu juga temen deket mereka sendiri, Phil Harvey. Bahkan Mat Whitecross sang sutradara juga temen main mereka dari awal Coldplay belum berempat. Makanya gak heran kalo Mat punya banyak banget footage langka yang mungkin mereka sendiri lupa kalau kejadian itu pernah ada.

Di tahun 1999 waktu Coldplay mau rilis EP, Will Champion dikeluarkan dari band karena menurut produser permainan drumnya gak bagus. Pemecatan Will ini ternyata bikin Coldplay pincang. Udah berkali-kali audisi tapi tetep belum nemu yang cocok. Akhirnya Chris Martin minta maaf ke Will sekaligus minta dia untuk balik sama Coldplay.

Untungnya, Will mau. Syaratnya, Chris yang bukan peminum itu disuruh minum vodka sampai mabuk biar dia nyadar kalau apa yang dia lakukan ke Will itu jahat. Selain itu Will juga mau balik lagi ke Coldplay asalkan band ini pakai sistem demokrasi, jadi semua suara personel di band itu penting, gak bisa main asal pecat kecuali emang ngelakuin kesalahan fatal (drug).

Kalau saya ngeliatnya sih, emang kayaknya mereka sendiri yang maunya ngeband sesuai personel awal. Ngeband kadang bukan soal skill dan bisa bikin lagu bagus tapi juga soal chemistry (yak sotoy...). Mengutip pernyataan Chris: “Without the other three, each of us would be kind of screwed,”

A post shared by Coldplay (@coldplay) on

Cerita lain adalah soal manajer gantengnya Coldplay, Phil Harvey. Kalau kamu ngikutin Coldplay, pasti udah tahu kalo Phil sering disebut sebagai Coldplay’s fifth member. Phil ini juga yang ngurusin Coldplay dari mereka bukan siapa-siapa sampai akhirnya di tahun 2001 mereka menang Brit Awards 2001 sebagai Best British Band dan Best British Album (Parachutes).

Lha kok ternyata Phil justru keluar gak lama setelah acara awards itu. Alasannya sangat bisa dimengerti: Coldplay sudah mulai terkenal, sudah mulai terlalu ribet untuk ditangani Phil seorang diri sampai bikin depresi.

Selama absennya Phil, Coldplay mengaku kalau mereka kayak kehilangan arah. Seolah-olah semua keputusan yang mereka ambil itu salah. Ini kejadian waktu mereka bikin album X&Y. Phil gak ada di sana dan mereka merasa nggak utuh sebagai Coldplay.

Mungkin ini juga yang bikin X&Y buat saya jadi least favourite album. Secara implisit mereka sendiri mengakui kalau album X&Y ini "untungnya" ketolong sama Fix You, selebihnya they’re not really into it. Kalau kamu perhatiin juga, lagu-lagu di album X&Y ini ceritanya suram, banyak cerita tentang sesuatu yang incomplete, missing pieces, juga insecurites.

Lagu kesukaan saya di album X&Y juga cuma dua: The Hardest Part dan Speed of Sound. Maaf saya bukan jamaah Fix You meskipun lagu ini liriknya kuat banget dan sangat personal buat Chris Martin & Gwyneth Paltrow.

Lalu mungkin Coldplay gak betah untuk limbung berlama-lama, dan Phil mungkin juga merasa istirahatnya sudah cukup. Setelah album X&Y laris belasan juta kopi, Coldplay memutuskan untuk narik balik Phil ke tim manajemen. Saat itu Coldplay sudah dimanajeri oleh Dave Holmes, manajer mereka sampai sekarang dan Phil merasa Coldplay sudah berada di tangan yang tepat, jadinya Phil masuk sebagai Creative Director.

Ah brotherhood love, mereka sepertinya memang gak bisa lepas satu sama lain ya?.

Yang tidak diceritakan dalam film


Meskipun film ini banyak nampilin sisi lain Coldplay yang gak pernah kita tahu, tapi ada beberapa bagian penting yang menurut saya kurang digali. Pertama, tentang tekanan yang mereka rasain di dalam band.

Kalau kamu amati, tiap Coldplay selesai rilis album, mereka sering banget bilang bahwa album ini mungkin jadi album terakhir mereka karena kemarin udah habis-habisan banget bikinnya dan gak tau lagi gimana caranya bikin album yang lebih bagus dari ini.

Tapi tahun depan mereka udah bikin album baru lagi. What kind of sorcery is this? 

Apalagi kondisi mereka sekarang udah sangat jauh berbeda. Dulu mereka masih sekampus, seasrama, gampang ketemunya. Sekarang Chris Martin udah tinggal di LA sementara personel lainnya masih tinggal di London. Ketemu juga jarang. 

Trus apa dong rahasianya mereka bisa ngatasin semua masalah itu? What's your stress reliever?
A post shared by Coldplay (@coldplay) on


Kalau mau mengandalkan kecanggihan teknologi dan nilai-nilai persahabatan seperti cerita di atas sih ya mungkin memang bisa jadi cara untuk berkomunikasi, ngomongin proses kreatif dan sebagainya. Tapi saya percaya pasti ada cara lain di luar itu yang bisa bikin mereka masih tetap waras sampai sekarang. Sayangnya hal itu gak diceritain di dalam film.

Hal kedua yang menurut saya terlewat tapi sebenernya penting untuk diceritakan adalah perjuangan mereka menembus pasar Amerika. Yang ada dalam film cuma cerita pertama kali Coldplay manggung di Amerika tahun 2004, dimana mereka pertama main di sebuah festival musik dan harus berbagi panggung dengan band yang sudah punya nama seperti Papa Roach.

Saat itu belum banyak penonton Amerika yang tahu Coldplay, bahkan punya albumnya. Nah perjalanan mereka dari band yang clueless sama pasar Amerika trus sampai akhirnya bisa tampil di acara Super Bowl ini kan menarik untuk disimak.

Apakah pasar Amerika ini penting untuk Coldplay? Gimana rasanya menang Grammy? Trus apa bener duet ama Rihanna, Beyonce bahkan The Chainsmokers itu salah satu cara Coldplay untuk bisa diterima pasar Amerika? Why butterfly?

Mungkin itu pertanyaan klise, tapi rasanya sayang aja gak masuk di film dokumenter perjalanan karir 20 tahun Coldplay.

We want more!

Okay, rasanya saya gak pernah nulis sepanjang ini di blog. Pengen disingkat lagi tapi ya udahlah segini aja gapapa. Terima kasih sudah baca sampai titik terakhir. Semoga semakin banyak lagi film dokumenter atau film biografi band dan musisi yang tayang di bioskop karena nyanyi-nyanyi di bioskop itu seru gaes!

Buat yang kemarin gak sempat nonton di bioskop, bisa nonton di Amazon Prime atau beli DVDnya di negara tetangga. Info selengkapnya bisa dicek di instagram Coldplay

Akhir kata, i love you guys, as much as i love Coldplay, maybe. See you!













  












No comments: