Dulu masuk rumah ini serasa rumah milik sendiri. Datang, lepas sepatu dan kaos kaki, cuci tangan kaki di kamar mandi belakang, lalu duduk santai di ruang televisi nonton vcd bajakan. Kali ini ritual itu masih tetap sama, namun entah mengapa detak jantung saya tak karuan sejak tadi membuka pagar yang kini berwarna hitam.
Ada penyesalan ketika dulu saya masih berkantor beberapa blok dari sini tapi justru tak pernah berkunjung kemari. Sekarang penyesalan itu harus saya tanggung bertumpuk dengan rasa canggung.
Saya cuma ingin memberi pelukan pada teman yang ayahnya baru saja berpulang. Mengapa saya harus gugup?
Sandal dan sepatu berserakan di tepi teras meskipun di depan garasi ada rak sepatu untuk tamu, sama seperti dulu. Bedanya kali ini di rak tersebut terisi sandal dan sepatu ukuran anak-anak. Dinding krem ruang tamunya juga sudah mulai terisi coretan krayon, pertanda bahwa hidup kami sudah berjarak jauh dari masa putih abu-abu.
Mungkin itu yang selalu membuat siapa saja nyaman berbagi cerita dengannya. Sampai sekarang kehangatannya tidak berubah. Ia adalah sahabat bagi semua orang, dan rumahnya adalah rumah bagi semua orang.
![]() |
Photo by Sam Willis from Pexels |