Jadi Single Parent itu Berat, Jenderal...

by - October 02, 2018


Hidup itu memang sawang sinawang ya. Mulai dari urusan akademis, kelancaran finansial, hingga urusan rumah tanga.

Beberapa waktu lalu, di saat meet up hore bersama teman-teman, ada teman yang nyeletuk “Paling enak justru kamu Tid, udah pasti ga ngalamin KDRT”.

pexels.com/@burakkostak


Konteksnya saat itu ada salah satu teman yang cerita bahwa dia sudah tidak tahan dengan kondisi rumah tangganya karena KDRT. Selama 8 tahun pernikahan, baik kekerasan fisik maupun verbal sudah pernah ia alami. Konon temanku sebagai pihak perempuan sudah berencana membatalkan pernikahan, namun karena pertimbangan lain akhirnya janur kuning melengkung juga.

Temanku ini adalah dosen di salah satu kampus di Malang, sementara suaminya bekerja di sebuah bank swasta di Surabaya. Menurut cerita, keduanya hanya bertemu 2-3 kali dalam seminggu. Tentu banyak anggapan bahwa jangan-jangan jarak inilah penyebab keduanya mengalami masalah komunikasi sehingga memicu masalah-masalah lainnya.

Tapi menurut mereka tidak demikan. 3 tahun pertama pernikahan, mereka tinggal di Surabaya. Teman saya saat itu menyelesaikan studi magisternya sambil diselingi hamil dan melahirkan putra pertama mereka. Apakah saat itu pernikahannya baik-baik saja? Ternyata tidak juga (menurut teman saya). Bibit-bibit KDRT mulai tampak, namun teman saya mengabaikannya dan berfikir bahwa ini hanya fase adaptasi pengantin baru saja.

Namun teman saya ini berprinsip, bahwa 5 tahun adalah fase yang cukup untuk adaptasi sebuah pengantin baru. Jika lebih dari 5 tahun masih belum menemukan kecocokan, maka perceraian adalah opsi.

Saat itu pun saya dan teman-teman lain memberi saran: mungkin waktu adaptasimu bukan 5 tahun, tapi 7 tahun, atau mungkin 9 dan 10 tahun? Sabar dulu lah, jalani dulu. Bersabarlah lagi.

Beberapa hari setelah itu, dalam sebuah grup WhatsApp ia membagi foto memar di bagian mata dan lengan dengan caption singkat “Harus sabar ya rek?”.

Tahun berikutnya, ia memilih untuk mengambil tawaran menjadi dosen di Malang yang memang merupakan cita-citanya sejak lama. Lambat laun ia merasa bahwa menjadi dosen bukan hanya sekedar pencapaian pribadi dan bentuk terima kasih pada orang tuanya, namun pekerjaan ini juga sebagai pelarian dari kebisingan rumah tangganya.



Emang bener ya, jadi single parent lebih enak?

Fast forward ke 8 tahun pernikahan mereka, cerita yang ia bawa kemarin masih sama. Pernikahan yang menurutnya kurang bahagia dan KDRT yang masih ia rasakan meskipun sudah berjarak dengan suaminya. Teman saya pun mantap untuk berpisah dari suaminya meskipun hal ini belum ia diskusikan dengan suami dan keluarga.

Saya jadi mikirin celetukan teman saya tadi: Benarkah jadi single parent itu lebih enak, lebih bahagia?

Kalau di posisinya yang sebagai korban KDRT suami, mungkin iya.

Tapi kalau urusan membesarkan dan mendidik anak? Sejauh ini saya bisa katakan bahwa menjadi single parent itu tidak mudah.

Dalam kasus saya, anak saya laki-laki. Sederhana saja, saya khawatir tidak bisa memberi contoh figur bapak baginya. Masalahnya di rumah memang tidak ada sosok laki-laki yang bisa dijadikan contoh.

Tahun lalu, saya sempat menahan tangis ketika menjemput anak saya pulang sekolah. Wali kelasnya cerita bahwa Samirayyan yang biasanya pemalu dan irit bicara di kelas, bisa cerita mengenai pekerjaan bapaknya. Saya tidak tahu darimana ia mendapat ilham untuk bercerita bahwa bapaknya kerja di proyek, bikin bendungan dan bikin hotel. Hal-hal yang tidak pernah kami ceritakan padanya, tapi itu benar adanya.

Menurut gurunya, Sam bercerita dengan sangat lancar seperti ia memang benar-benar tahu pekerjaan mendiang bapaknya. Cerita itu diakhiri dengan: “Sekarang bapak masih meninggal, meninggalnya masih lama..”

Antara gemas dan kasihan mendengar ucapan si kecil.

Di kesempatan lain, sepulang sekolah saya pernah ditanya langsung oleh teman sekelas Rayyan: “Abinya Rayyan yang mana?” lalu saya jawab, “Abinya gak ada, sudah meninggal”. Fatin, teman sekelas Rayyan itu lalu bercerita bahwa di rumahnya ia tinggal dengan umma (ibu), abi (bapak), jiddah (nenek), jiddi (kakek), serta kakak dan adik. Kebetulan Fatin memang lahir dari keluarga besar, ia sendiri adalah anak ke 5 dari 6 bersaudara.



Wajah Fatin seperti tidak percaya bahwa Rayyan hanya tinggal bertiga di rumah, bersama ibu dan neneknya. Fatin lalu bertanya hal-hal lain seperti “Sepi nggak?”, “Kamu main sama siapa di rumah?”, “Kamarnya sedikit ya?”, “Nggak bisa main zombie-zombie ya?” yang dijawab Rayyan dengan sangat santai sambil menyeruput puding sedot yang dibeli di sekolah.

Hal-hal seperti ini tentunya tidak dialami oleh keluarga yang lengkap. Tidak perlu bingung menjelaskan pada anak mengenai apa itu meninggal, apa itu kematian, meskipun memang suatu saat anak-anak perlu tahu mengenai hal tersebut.

Tidak adanya sosok ayah bagi Rayyan ini jadi pe-er tersendiri bagi saya. Misalnya, tidak ada yang mencontohkan bahwa setiap Jum’at, pria muslim memiliki kewajiban untuk sholat Jum’at sebagai pengganti sholat Dhuhur. Padahal hal-hal kecil seperti inilah yang ingin saya tanamkan padanya sejak kecil.

Saya sebenarnya beruntung punya suami yang selalu ingin berada di sisi anaknya. Suami saya yatim sejak lahir. Ayahnya meninggal sejak ia masih di dalam kandungan. Baru memiliki ayah sambung ketika ia berusia sekitar 4-5 tahun. Menurut ceritanya, ia sendiri yang meminta sosok ayah dalam kehidupannya, hingga ibu mertua saya yang kebingungan menjawab keinginan suami saya ketika kecil.

Karena itu ia punya semangat tinggi untuk selalu hadir dalam kehidupan anaknya. Ia ingin memberikan apa yang tidak bisa ia rasakan ketika kecil mengenai sosok ayah. Sayangnya, takdir berkata lain.

Saya tidak mengecilkan peran single parent hebat di belahan dunia lain. Ibu saya pun menjadi single parent ketika saya berusia 17 tahun. Saya tahu ia bekerja keras demi menyekolahkan anak-anaknya. Semua ibu yang sayang dengan anaknya saya rasa akan melakukan hal yang sama.

Saya tidak bilang bahwa anak-anak broken home atau anak yang dibesarkan oleh single parent tidak akan sukses atau sematang anak-anak dengan orang tua yang lengkap. Gak, saya gak beranggapan begitu.

Yang ingin saya sampaikan adalah jangan sampai pemikiran bahwa “single parent lebih enak” itu jadi bahan pertimbangan untuk bercerai. Jangan gampang mengajukan cerai. Memang gak gampang bertahan dalam kondisi rumah tangga yang gak sehat, apalagi kalau sudah punya anak. Tapi bukan berarti berpisah itu solusi efektif.



Seenak-enaknya jadi orang tua tunggal, masih lebih enak punya teman diskusi untuk diajak ngobrol soal berbagai macam hal mulai dari urusan rumah tangga, sekolah anak, belanja sehari-hari, sampai hal remeh temeh lainnnya.

Seringnya, alasan yang yang dikemukakan saat bercerai adalah demi masa depan dan kebahagiaan anak. Padahal sebenarnya, demi kenyamanan dan kemerdekaan pribadi. Yang kayak begini ya banyak juga memang, meskipun saya juga tidak menyalahkan alasan tersebut.

Trus gimana, kalau udah KDRT masa ga boleh cerai?

Ya boleh aja. Kalau saya ngalamin KDRT juga bukan gak mungkin saya kepikiran untuk bercerai. Tapi saya mau mengingatkan kalau jadi single parent itu berat, Jenderal. Perlu diingat kalau sekesal-kesalnya kamu pada suamimu, ia masih berhak atas anakmu. Anakmu punya hak untuk menghabiskan waktu, belajar dan menghabiskan waktu bersama ayahnya. Jadi nanti kalau sudah berpisah, jangan lupa untuk mengasuh anak bersama-sama.

Mungkin sulit atau berat, ya tapi kan gak ada yang gak mungkin.








You May Also Like

0 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Jadi Single Parent itu Berat, Jenderal...


Hidup itu memang sawang sinawang ya. Mulai dari urusan akademis, kelancaran finansial, hingga urusan rumah tanga.

Beberapa waktu lalu, di saat meet up hore bersama teman-teman, ada teman yang nyeletuk “Paling enak justru kamu Tid, udah pasti ga ngalamin KDRT”.

pexels.com/@burakkostak


Konteksnya saat itu ada salah satu teman yang cerita bahwa dia sudah tidak tahan dengan kondisi rumah tangganya karena KDRT. Selama 8 tahun pernikahan, baik kekerasan fisik maupun verbal sudah pernah ia alami. Konon temanku sebagai pihak perempuan sudah berencana membatalkan pernikahan, namun karena pertimbangan lain akhirnya janur kuning melengkung juga.

Temanku ini adalah dosen di salah satu kampus di Malang, sementara suaminya bekerja di sebuah bank swasta di Surabaya. Menurut cerita, keduanya hanya bertemu 2-3 kali dalam seminggu. Tentu banyak anggapan bahwa jangan-jangan jarak inilah penyebab keduanya mengalami masalah komunikasi sehingga memicu masalah-masalah lainnya.

Tapi menurut mereka tidak demikan. 3 tahun pertama pernikahan, mereka tinggal di Surabaya. Teman saya saat itu menyelesaikan studi magisternya sambil diselingi hamil dan melahirkan putra pertama mereka. Apakah saat itu pernikahannya baik-baik saja? Ternyata tidak juga (menurut teman saya). Bibit-bibit KDRT mulai tampak, namun teman saya mengabaikannya dan berfikir bahwa ini hanya fase adaptasi pengantin baru saja.

Namun teman saya ini berprinsip, bahwa 5 tahun adalah fase yang cukup untuk adaptasi sebuah pengantin baru. Jika lebih dari 5 tahun masih belum menemukan kecocokan, maka perceraian adalah opsi.

Saat itu pun saya dan teman-teman lain memberi saran: mungkin waktu adaptasimu bukan 5 tahun, tapi 7 tahun, atau mungkin 9 dan 10 tahun? Sabar dulu lah, jalani dulu. Bersabarlah lagi.

Beberapa hari setelah itu, dalam sebuah grup WhatsApp ia membagi foto memar di bagian mata dan lengan dengan caption singkat “Harus sabar ya rek?”.

Tahun berikutnya, ia memilih untuk mengambil tawaran menjadi dosen di Malang yang memang merupakan cita-citanya sejak lama. Lambat laun ia merasa bahwa menjadi dosen bukan hanya sekedar pencapaian pribadi dan bentuk terima kasih pada orang tuanya, namun pekerjaan ini juga sebagai pelarian dari kebisingan rumah tangganya.



Emang bener ya, jadi single parent lebih enak?

Fast forward ke 8 tahun pernikahan mereka, cerita yang ia bawa kemarin masih sama. Pernikahan yang menurutnya kurang bahagia dan KDRT yang masih ia rasakan meskipun sudah berjarak dengan suaminya. Teman saya pun mantap untuk berpisah dari suaminya meskipun hal ini belum ia diskusikan dengan suami dan keluarga.

Saya jadi mikirin celetukan teman saya tadi: Benarkah jadi single parent itu lebih enak, lebih bahagia?

Kalau di posisinya yang sebagai korban KDRT suami, mungkin iya.

Tapi kalau urusan membesarkan dan mendidik anak? Sejauh ini saya bisa katakan bahwa menjadi single parent itu tidak mudah.

Dalam kasus saya, anak saya laki-laki. Sederhana saja, saya khawatir tidak bisa memberi contoh figur bapak baginya. Masalahnya di rumah memang tidak ada sosok laki-laki yang bisa dijadikan contoh.

Tahun lalu, saya sempat menahan tangis ketika menjemput anak saya pulang sekolah. Wali kelasnya cerita bahwa Samirayyan yang biasanya pemalu dan irit bicara di kelas, bisa cerita mengenai pekerjaan bapaknya. Saya tidak tahu darimana ia mendapat ilham untuk bercerita bahwa bapaknya kerja di proyek, bikin bendungan dan bikin hotel. Hal-hal yang tidak pernah kami ceritakan padanya, tapi itu benar adanya.

Menurut gurunya, Sam bercerita dengan sangat lancar seperti ia memang benar-benar tahu pekerjaan mendiang bapaknya. Cerita itu diakhiri dengan: “Sekarang bapak masih meninggal, meninggalnya masih lama..”

Antara gemas dan kasihan mendengar ucapan si kecil.

Di kesempatan lain, sepulang sekolah saya pernah ditanya langsung oleh teman sekelas Rayyan: “Abinya Rayyan yang mana?” lalu saya jawab, “Abinya gak ada, sudah meninggal”. Fatin, teman sekelas Rayyan itu lalu bercerita bahwa di rumahnya ia tinggal dengan umma (ibu), abi (bapak), jiddah (nenek), jiddi (kakek), serta kakak dan adik. Kebetulan Fatin memang lahir dari keluarga besar, ia sendiri adalah anak ke 5 dari 6 bersaudara.



Wajah Fatin seperti tidak percaya bahwa Rayyan hanya tinggal bertiga di rumah, bersama ibu dan neneknya. Fatin lalu bertanya hal-hal lain seperti “Sepi nggak?”, “Kamu main sama siapa di rumah?”, “Kamarnya sedikit ya?”, “Nggak bisa main zombie-zombie ya?” yang dijawab Rayyan dengan sangat santai sambil menyeruput puding sedot yang dibeli di sekolah.

Hal-hal seperti ini tentunya tidak dialami oleh keluarga yang lengkap. Tidak perlu bingung menjelaskan pada anak mengenai apa itu meninggal, apa itu kematian, meskipun memang suatu saat anak-anak perlu tahu mengenai hal tersebut.

Tidak adanya sosok ayah bagi Rayyan ini jadi pe-er tersendiri bagi saya. Misalnya, tidak ada yang mencontohkan bahwa setiap Jum’at, pria muslim memiliki kewajiban untuk sholat Jum’at sebagai pengganti sholat Dhuhur. Padahal hal-hal kecil seperti inilah yang ingin saya tanamkan padanya sejak kecil.

Saya sebenarnya beruntung punya suami yang selalu ingin berada di sisi anaknya. Suami saya yatim sejak lahir. Ayahnya meninggal sejak ia masih di dalam kandungan. Baru memiliki ayah sambung ketika ia berusia sekitar 4-5 tahun. Menurut ceritanya, ia sendiri yang meminta sosok ayah dalam kehidupannya, hingga ibu mertua saya yang kebingungan menjawab keinginan suami saya ketika kecil.

Karena itu ia punya semangat tinggi untuk selalu hadir dalam kehidupan anaknya. Ia ingin memberikan apa yang tidak bisa ia rasakan ketika kecil mengenai sosok ayah. Sayangnya, takdir berkata lain.

Saya tidak mengecilkan peran single parent hebat di belahan dunia lain. Ibu saya pun menjadi single parent ketika saya berusia 17 tahun. Saya tahu ia bekerja keras demi menyekolahkan anak-anaknya. Semua ibu yang sayang dengan anaknya saya rasa akan melakukan hal yang sama.

Saya tidak bilang bahwa anak-anak broken home atau anak yang dibesarkan oleh single parent tidak akan sukses atau sematang anak-anak dengan orang tua yang lengkap. Gak, saya gak beranggapan begitu.

Yang ingin saya sampaikan adalah jangan sampai pemikiran bahwa “single parent lebih enak” itu jadi bahan pertimbangan untuk bercerai. Jangan gampang mengajukan cerai. Memang gak gampang bertahan dalam kondisi rumah tangga yang gak sehat, apalagi kalau sudah punya anak. Tapi bukan berarti berpisah itu solusi efektif.



Seenak-enaknya jadi orang tua tunggal, masih lebih enak punya teman diskusi untuk diajak ngobrol soal berbagai macam hal mulai dari urusan rumah tangga, sekolah anak, belanja sehari-hari, sampai hal remeh temeh lainnnya.

Seringnya, alasan yang yang dikemukakan saat bercerai adalah demi masa depan dan kebahagiaan anak. Padahal sebenarnya, demi kenyamanan dan kemerdekaan pribadi. Yang kayak begini ya banyak juga memang, meskipun saya juga tidak menyalahkan alasan tersebut.

Trus gimana, kalau udah KDRT masa ga boleh cerai?

Ya boleh aja. Kalau saya ngalamin KDRT juga bukan gak mungkin saya kepikiran untuk bercerai. Tapi saya mau mengingatkan kalau jadi single parent itu berat, Jenderal. Perlu diingat kalau sekesal-kesalnya kamu pada suamimu, ia masih berhak atas anakmu. Anakmu punya hak untuk menghabiskan waktu, belajar dan menghabiskan waktu bersama ayahnya. Jadi nanti kalau sudah berpisah, jangan lupa untuk mengasuh anak bersama-sama.

Mungkin sulit atau berat, ya tapi kan gak ada yang gak mungkin.








No comments: