Berarti Lukanya Belum Sembuh

by - October 08, 2019




“Bertahun-tahun saya lari dari kamu, hidup saya bebas. Damai. Sekarang kamu tiba-tiba muncul, kamu pikir saya mau ketemu kamu?”

Kira-kira begitulah kalimat yang saya rancang di kepala saya untuk membalas pesan singkat yang berbunyi: “Hai Ratih, ini X. Kamu apa kabar?”. 

Kalau hidup saya bisa disamakan dengan Ada Apa Dengan Cinta 2, kalimat ini mungkin akan muncul di adegan Rangga dan Cinta pertama kali bertemu kembali di Sellie Coffee Jogja. Persis sebelum kalimat “Rangga, apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat”. 

Bedanya, saya bukan Cinta dan kamu bukan Rangga. Kami bukanlah pasangan yang sebaiknya kembali bersama-sama. Justru sebaliknya. 

Kamu adalah orang yang ingin saya hindari sejauh-jauhnya. Kamu adalah orang yang tidak ingin saya jumpai secara tiba-tiba, apalagi dengan sengaja. Saya tak ingin buang-buang waktu untuk mendengarkan kamu. Saya lelah dengan cerita-ceritamu yang entah benar entah bukan, tapi apa pun itu saya memilih untuk tidak percaya. 

Cukup.

Matchstick, Fire, Light, Striking, Ignition, Heat
Pic: pixabay.com

Tahun kemarin saya dengan bangga bercerita pada seorang teman bahwa saya bisa bebas dari lingkaran pertemanan toxic yang meninggalkan trauma. Jika kamu belum paham, kamu tokoh utamanya. Tapi tenang saja, saat itu nama dan identitasmu disamarkan. Mereka tidak akan tahu kalau orang yang selalu membuat saya terkekang itu kamu. 

Saya pikir, setelah benar-benar memutus hubungan dari kamu, hidup saya akan terbebas dari kamu selamanya. Sayangnya kita tumbuh di dunia jejaring sosial media. Temannya temanku, siapa tahu adalah temanmu juga. Yang artinya, meskipun saya tidak melebarkan jaring untuk mendekat ke arahmu, ada kemungkinan bagi kita untuk terhubung kembali, entah bagaimana. 

Seperti hari ini. 

Sebuah pesan dengan struktur kalimat yang baik. Sopan. Halus. Saya seharusnya tidak punya alasan untuk kesal saat pertama membaca namamu di pesan itu. Kalau saja pesan itu ditulis oleh kawan lama, saya tidak akan buang waktu lama untuk membalasnya. Tapi sekali lagi, ini kamu. 

Okelah dulu saya yang bodoh. Saya yang memilih untuk tiba-tiba mengabaikan kamu, lalu pergi meninggalkan kamu, bukannya maju menghadapi kamu, membantah semua argumenmu, dan menjelaskan kenapa saya tidak bisa percaya kamu lagi. Saya memang tidak seharusnya lari.

Tapi dulu seingat saya itulah hal terbaik yang bisa saya lakukan. Saya capek. Saya tidak sabar untuk segera bisa terbebas dari kamu. Maka, saat itu juga saya membakar jembatan dan tidak pernah menoleh ke belakang lagi. 

Belasan tahun berlalu, saya pikir saya sudah cukup kebal dengan kamu. Meskipun saya tidak berharap akan mendengar lagi cerita tentang kamu, saya pikir saya akan mendengar cerita yang berbeda tentang kamu. Ternyata tidak. 

Kamu hari ini bilang apa, besok bilang apa, lusa beda lagi ceritanya. Kamu ya begitu itu. Sekusut itu. 

Ternyata saya masih sebal dengan kamu. Saya masih belum bisa baik-baik saja ketika membicarakan kamu, dan kini semakin ngeri ketika tahu bahwa kita masih sangat mungkin untuk suatu saat bertatap muka dan bicara. 

Lalu kenapa bisa menulis tentang kamu sepanjang ini? Ya untuk memastikan saja bahwa saya, mau tidak mau, siap tidak siap, memang harus bisa menghadapi kamu dengan biasa saja. Kali ini saya tidak akan lari. Tapi saya akan tetap menjaga jarak. 

Saya akan tetap bermain dengan waktu hingga luka ini sembuh. Hingga ketika kelak ada yang bertanya tentang kamu, saya bisa menjawab dengan lepas tanpa dendam. 









You May Also Like

0 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Berarti Lukanya Belum Sembuh




“Bertahun-tahun saya lari dari kamu, hidup saya bebas. Damai. Sekarang kamu tiba-tiba muncul, kamu pikir saya mau ketemu kamu?”

Kira-kira begitulah kalimat yang saya rancang di kepala saya untuk membalas pesan singkat yang berbunyi: “Hai Ratih, ini X. Kamu apa kabar?”. 

Kalau hidup saya bisa disamakan dengan Ada Apa Dengan Cinta 2, kalimat ini mungkin akan muncul di adegan Rangga dan Cinta pertama kali bertemu kembali di Sellie Coffee Jogja. Persis sebelum kalimat “Rangga, apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat”. 

Bedanya, saya bukan Cinta dan kamu bukan Rangga. Kami bukanlah pasangan yang sebaiknya kembali bersama-sama. Justru sebaliknya. 

Kamu adalah orang yang ingin saya hindari sejauh-jauhnya. Kamu adalah orang yang tidak ingin saya jumpai secara tiba-tiba, apalagi dengan sengaja. Saya tak ingin buang-buang waktu untuk mendengarkan kamu. Saya lelah dengan cerita-ceritamu yang entah benar entah bukan, tapi apa pun itu saya memilih untuk tidak percaya. 

Cukup.

Matchstick, Fire, Light, Striking, Ignition, Heat
Pic: pixabay.com

Tahun kemarin saya dengan bangga bercerita pada seorang teman bahwa saya bisa bebas dari lingkaran pertemanan toxic yang meninggalkan trauma. Jika kamu belum paham, kamu tokoh utamanya. Tapi tenang saja, saat itu nama dan identitasmu disamarkan. Mereka tidak akan tahu kalau orang yang selalu membuat saya terkekang itu kamu. 

Saya pikir, setelah benar-benar memutus hubungan dari kamu, hidup saya akan terbebas dari kamu selamanya. Sayangnya kita tumbuh di dunia jejaring sosial media. Temannya temanku, siapa tahu adalah temanmu juga. Yang artinya, meskipun saya tidak melebarkan jaring untuk mendekat ke arahmu, ada kemungkinan bagi kita untuk terhubung kembali, entah bagaimana. 

Seperti hari ini. 

Sebuah pesan dengan struktur kalimat yang baik. Sopan. Halus. Saya seharusnya tidak punya alasan untuk kesal saat pertama membaca namamu di pesan itu. Kalau saja pesan itu ditulis oleh kawan lama, saya tidak akan buang waktu lama untuk membalasnya. Tapi sekali lagi, ini kamu. 

Okelah dulu saya yang bodoh. Saya yang memilih untuk tiba-tiba mengabaikan kamu, lalu pergi meninggalkan kamu, bukannya maju menghadapi kamu, membantah semua argumenmu, dan menjelaskan kenapa saya tidak bisa percaya kamu lagi. Saya memang tidak seharusnya lari.

Tapi dulu seingat saya itulah hal terbaik yang bisa saya lakukan. Saya capek. Saya tidak sabar untuk segera bisa terbebas dari kamu. Maka, saat itu juga saya membakar jembatan dan tidak pernah menoleh ke belakang lagi. 

Belasan tahun berlalu, saya pikir saya sudah cukup kebal dengan kamu. Meskipun saya tidak berharap akan mendengar lagi cerita tentang kamu, saya pikir saya akan mendengar cerita yang berbeda tentang kamu. Ternyata tidak. 

Kamu hari ini bilang apa, besok bilang apa, lusa beda lagi ceritanya. Kamu ya begitu itu. Sekusut itu. 

Ternyata saya masih sebal dengan kamu. Saya masih belum bisa baik-baik saja ketika membicarakan kamu, dan kini semakin ngeri ketika tahu bahwa kita masih sangat mungkin untuk suatu saat bertatap muka dan bicara. 

Lalu kenapa bisa menulis tentang kamu sepanjang ini? Ya untuk memastikan saja bahwa saya, mau tidak mau, siap tidak siap, memang harus bisa menghadapi kamu dengan biasa saja. Kali ini saya tidak akan lari. Tapi saya akan tetap menjaga jarak. 

Saya akan tetap bermain dengan waktu hingga luka ini sembuh. Hingga ketika kelak ada yang bertanya tentang kamu, saya bisa menjawab dengan lepas tanpa dendam. 









No comments: