Istirahatlah Kata-Kata: Keheningan Yang Mengusik

by - February 05, 2017

Seberapa jauh kamu mengenal sosok Wiji Thukul?

Saya sebatas mengenal namanya saja dari buku kumpulan puisi yang pernah saya baca di perpustakaan SMA. Sejak itu saya mengenal Wiji Thukul sebagai seorang penyair meskipun saya tidak tahu banyak karya-karyanya.

Di masa kuliah, ketika mahasiswa tidak lagi takut membicarakan Orde Baru, saya mulai mengenal Wiji Thukul sebagai aktivis. Namanya kerap disandingkan dengan Munir dan beberapa nama aktivis muda lainnya yang hilang begitu saja dan tidak ada kejelasannya hingga kini. Setiap pergantian Presiden, namanya selalu disebut oleh para aktivis masa kini sebagai tuntutan kepada Presiden terpilih untuk menjawab tanda tanya yang sekian tahun selalu menghantui mereka.

Lalu di tahun 2017, lahirlah film Istirahatlah Kata-Kata, sebuah biopik Wiji Thukul garapan Yosep Anggi Noen. Sebuah kesempatan yang baik untuk mengenal Wiji Thukul, pikir saya.

Namun ternyata tidak semudah itu caranya. Kota Malang tidak masuk dalam daftar kota penayangan pertama film ini. Bisa sih nonton di Surabaya. Tapi daripada rame-rame nonton di Surabaya, mendingan mengupayakan sesuatu supaya filmnya tayang di Malang. Bukan apa-apa, cuma saya yakin orang Malang juga banyak kok yang mau nonton film ini.

Benar saja, berawal dari polling Twitter milik akun @MelatiNoerFajri, penggiat film, kami (can i say 'kami'?) berhasil membuktikan bahwa akan ada lebih dari 300 orang yang bersedia nonton film ini jika tayang di Malang. Selain itu, akun @FilmWijiThukul juga berbaik hati mengadakan #SayembaraNobar dengan mekanisme menyerbu mention dan hashtag. Akhirnya Malang dan beberapa kota lainnya terpilih untuk mengadakan acara nobar dan diskusi film Wiji Thukul.

Hari H tiba, saya dan teman-teman sudah berkumpul di bioskop Mandala untuk penayangan film jam 19.30. Suasana antriannya mirip dengan antri film Hangout dan Cek Toko Sebelah, sebuah film yang temanya sangat bertolak belakang dengan Istirahatlah Kata-Kata. Rata-rata yang nonton pun bukan hanya yang seumuran saya, tapi juga banyak anak-anak muda masa kini yang saya yakin mereka masih sangat kecil untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya di tahun 1998. Sebuah antusiasme yang tidak saya duga sebelumnya. Film tema aktivis bisa menarik perhatian anak muda segini banyaknya. Total tiket terjual kabarnya mencapai 768 tiket. Pantas saja bioskop Mandala mendadak penuh sesak.

Suasana bioskop Mandala

Alih-alih mengenalkan perjuangan Wiji Thukul, film Istirahatlah Kata-Kata memilih untuk menceritakan ketika sang penyair cadel ini berada di pengasingan di Kalimantan. Tidak ada visual heroik Wiji Thukul turun ke jalan memimpin orasi atau membacakan puisi sebagai bentuk protes pada penguasa. Yang ada justru alur cerita lambat yang mengantarkan Wiji dari satu penyamaran ke penyamaran lainnya. Dari satu kecemasan ke ketakutan lainnya. Dari satu kebosanan ke kerinduan pada keluarganya. Frame-frame yang berisi tak pernah lebih banyak dari 5 orang dan dialog yang minim ini cukup kuat untuk menggambarkan suasana intimidasi yang dialami Wiji.

Lewat keheningan, penonton diajak untuk mengenang kembali bahwa dulu, menyuarakan kebenaran adalah hal yang berbahaya. Dulu, bungkam dan menurut akan membawa nasib keluarga jadi lebih baik daripada lantang dan terang-terangan mengkritik penguasa.

Sebuah pertanyaan menggelitik yang juga menjadi pertanyaan saya dan mungkin ratusan penonton awam lainnya, sempat dilontarkan oleh salah satu sahabat Wiji di persembunyiannya:

"Kamu kenapa masuk daftar (buronan)? Apa hanya karena puisi-puisi?"

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Wiji:

"Rezim ini bangsat tapi takut dengan kata-kata".

Film ini tidak melulu berkisah tentang Wiji. Cerita juga berjalan linier di Solo, tempat Sipon, istri Wiji, harus bertahan hidup menghidupi anak-anaknya di tengah cap bahwa ia adalah istri seorang penyair yang juga musuh negara saat itu. Lewat kesederhanaan, Sipon berhasil menggambarkan kecemasan seorang istri yang suaminya entah di mana dan entah akan pulang kapan.

Lalu, apakah Wiji Thukul sebaiknya harus pulang dan kembali ke rumah?. Entah. Nyatanya, ketika Wiji diceritakan pulang kembali ke Solo pun ia masih harus kucing-kucingan di rumah sendiri. Kegetiran ini pun diutarakan dengan indah yang diucapkan Sipon lewat dialog terakhirnya:

"Aku nggak pengen kamu pergi. Aku juga nggak pengen kamu pulang. Aku cuma pengen kamu ada".

Sebuah keinginan yang mudah didapatkan bagi banyak pasangan suami istri di luar sana, namun seperti yang kita tahu, tidak bagi Sipon dan Wiji.

Film Istirahatlah Kata-Kata sedari awal memang hanya ingin menggambarkan cuplikan perjuangan Wiji Thukul. Rasanya tidak cukup jika kita hanya mengandalkan film ini saja untuk bisa memahami sosoknya. Tugas film ini cukup hanya mengingatkan bahwa bangsa ini pernah punya seorang pemberani seperti Wiji Thukul. Juga cukup untuk mengingatkan bahwa di tengah kebebasan yang tengah kita nikmati saat ini, dulu kita pernah sangat takut untuk bersuara.

You May Also Like

0 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Istirahatlah Kata-Kata: Keheningan Yang Mengusik

Seberapa jauh kamu mengenal sosok Wiji Thukul?

Saya sebatas mengenal namanya saja dari buku kumpulan puisi yang pernah saya baca di perpustakaan SMA. Sejak itu saya mengenal Wiji Thukul sebagai seorang penyair meskipun saya tidak tahu banyak karya-karyanya.

Di masa kuliah, ketika mahasiswa tidak lagi takut membicarakan Orde Baru, saya mulai mengenal Wiji Thukul sebagai aktivis. Namanya kerap disandingkan dengan Munir dan beberapa nama aktivis muda lainnya yang hilang begitu saja dan tidak ada kejelasannya hingga kini. Setiap pergantian Presiden, namanya selalu disebut oleh para aktivis masa kini sebagai tuntutan kepada Presiden terpilih untuk menjawab tanda tanya yang sekian tahun selalu menghantui mereka.

Lalu di tahun 2017, lahirlah film Istirahatlah Kata-Kata, sebuah biopik Wiji Thukul garapan Yosep Anggi Noen. Sebuah kesempatan yang baik untuk mengenal Wiji Thukul, pikir saya.

Namun ternyata tidak semudah itu caranya. Kota Malang tidak masuk dalam daftar kota penayangan pertama film ini. Bisa sih nonton di Surabaya. Tapi daripada rame-rame nonton di Surabaya, mendingan mengupayakan sesuatu supaya filmnya tayang di Malang. Bukan apa-apa, cuma saya yakin orang Malang juga banyak kok yang mau nonton film ini.

Benar saja, berawal dari polling Twitter milik akun @MelatiNoerFajri, penggiat film, kami (can i say 'kami'?) berhasil membuktikan bahwa akan ada lebih dari 300 orang yang bersedia nonton film ini jika tayang di Malang. Selain itu, akun @FilmWijiThukul juga berbaik hati mengadakan #SayembaraNobar dengan mekanisme menyerbu mention dan hashtag. Akhirnya Malang dan beberapa kota lainnya terpilih untuk mengadakan acara nobar dan diskusi film Wiji Thukul.

Hari H tiba, saya dan teman-teman sudah berkumpul di bioskop Mandala untuk penayangan film jam 19.30. Suasana antriannya mirip dengan antri film Hangout dan Cek Toko Sebelah, sebuah film yang temanya sangat bertolak belakang dengan Istirahatlah Kata-Kata. Rata-rata yang nonton pun bukan hanya yang seumuran saya, tapi juga banyak anak-anak muda masa kini yang saya yakin mereka masih sangat kecil untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya di tahun 1998. Sebuah antusiasme yang tidak saya duga sebelumnya. Film tema aktivis bisa menarik perhatian anak muda segini banyaknya. Total tiket terjual kabarnya mencapai 768 tiket. Pantas saja bioskop Mandala mendadak penuh sesak.

Suasana bioskop Mandala

Alih-alih mengenalkan perjuangan Wiji Thukul, film Istirahatlah Kata-Kata memilih untuk menceritakan ketika sang penyair cadel ini berada di pengasingan di Kalimantan. Tidak ada visual heroik Wiji Thukul turun ke jalan memimpin orasi atau membacakan puisi sebagai bentuk protes pada penguasa. Yang ada justru alur cerita lambat yang mengantarkan Wiji dari satu penyamaran ke penyamaran lainnya. Dari satu kecemasan ke ketakutan lainnya. Dari satu kebosanan ke kerinduan pada keluarganya. Frame-frame yang berisi tak pernah lebih banyak dari 5 orang dan dialog yang minim ini cukup kuat untuk menggambarkan suasana intimidasi yang dialami Wiji.

Lewat keheningan, penonton diajak untuk mengenang kembali bahwa dulu, menyuarakan kebenaran adalah hal yang berbahaya. Dulu, bungkam dan menurut akan membawa nasib keluarga jadi lebih baik daripada lantang dan terang-terangan mengkritik penguasa.

Sebuah pertanyaan menggelitik yang juga menjadi pertanyaan saya dan mungkin ratusan penonton awam lainnya, sempat dilontarkan oleh salah satu sahabat Wiji di persembunyiannya:

"Kamu kenapa masuk daftar (buronan)? Apa hanya karena puisi-puisi?"

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Wiji:

"Rezim ini bangsat tapi takut dengan kata-kata".

Film ini tidak melulu berkisah tentang Wiji. Cerita juga berjalan linier di Solo, tempat Sipon, istri Wiji, harus bertahan hidup menghidupi anak-anaknya di tengah cap bahwa ia adalah istri seorang penyair yang juga musuh negara saat itu. Lewat kesederhanaan, Sipon berhasil menggambarkan kecemasan seorang istri yang suaminya entah di mana dan entah akan pulang kapan.

Lalu, apakah Wiji Thukul sebaiknya harus pulang dan kembali ke rumah?. Entah. Nyatanya, ketika Wiji diceritakan pulang kembali ke Solo pun ia masih harus kucing-kucingan di rumah sendiri. Kegetiran ini pun diutarakan dengan indah yang diucapkan Sipon lewat dialog terakhirnya:

"Aku nggak pengen kamu pergi. Aku juga nggak pengen kamu pulang. Aku cuma pengen kamu ada".

Sebuah keinginan yang mudah didapatkan bagi banyak pasangan suami istri di luar sana, namun seperti yang kita tahu, tidak bagi Sipon dan Wiji.

Film Istirahatlah Kata-Kata sedari awal memang hanya ingin menggambarkan cuplikan perjuangan Wiji Thukul. Rasanya tidak cukup jika kita hanya mengandalkan film ini saja untuk bisa memahami sosoknya. Tugas film ini cukup hanya mengingatkan bahwa bangsa ini pernah punya seorang pemberani seperti Wiji Thukul. Juga cukup untuk mengingatkan bahwa di tengah kebebasan yang tengah kita nikmati saat ini, dulu kita pernah sangat takut untuk bersuara.

No comments: