Katanya, mata uang kita mau dipotong

by - August 04, 2010

Menurut narasi berita di teve, Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan wacana untuk memotong nilai Rupiah. Dipotong? Sanering dong, kaya waktu tahun 60an?. Oh bukan. Setelah disimak beritanya ternyata yang dimaksud bukan sanering tapi redenominasi.



Redenominasi dan sanering

Apa itu redenominasi? Mirip dengan sanering, redenominasi adalah pemotongan nilai mata uang tanpa diikuti nilai tukar atau daya belinya. Atau gampangnya, dalam redenominasi yang terjadi adalah “pemangkasan angka nol” di mata uangnya. Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang diikuti dengan pemotongan nilai tukar.

Ilustrasinya begini, misalnya Indonesia memberlakukan redenominasi dimana Rp 10.000 akan menjadi Rp 10. Harga telur dari Rp 10.000 juga akan ikut jadi Rp 10, sehingga bisa beli telur dengan pecahan Rp 10 tadi.

Kalau Indonesia memberlakukan sanering dimana Rp 10.000 sama dengan Rp 10, harga telur bisa jadi tetap Rp 10.000, sehingga untuk beli telur butuh seribu lembar Rp 10.

Sanering biasanya dilakukan saat perekonomian tidak sehat dan tingkat inflasi tinggi, sedangkan redenominasi biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi rendah dan pergerakannya stabil terkendali.



Mengapa redenominasi?


Menurut Darmin Nasution, salah satu alasan redenominasi adalah untuk memudahkan pencatatan transaksi dalam pembukuan ataupun alat hitung. Melihat semakin transaksi ekonomi yang semakin tinggi dengan nominal yang semakin besar, dikhawatirkan dengan mata uang sekarang nantinya akan kesulitan dalam pencatatan pembukuannya.

Mata uang Indonesia termasuk mata uang yang punya pecahan tertinggi di dunia, dari Rp 50, 100, 1000 sampai 100.000. Negara lain yang punya mata uang besar adalah Vietnam, yang tertinggi sampai 500.000 Dong Vietnam. Zimbabwe bahkan punya pecahan sampai dengan seratus juta Dollar Zimbabwe. Memang USA punya pecahan 100.000 USD tapi tidak dapat digunakan dalam perdagangan bebas.

Menurut beliau, ada banyak transaksi keuangan yang sekali transaksi bisa sampai 18 digit. Bayangkan bagaimana rekap transaksi itu dalam sebulan? Setahun? Dengan redenominasi ini diharapkan dapat mempermudah pencatatan dan penyebutannya. Alasannya masuk akal, walaupun menurut saya seharusnya sistem pencatatan memang sudah disiapkan untuk mengantisipasi hal ini.

Kaitannya dengan nilai tukar rupiah, redenominasi rupiah tidak berkaitan langsung dengan penguatan nilai tukar. Misalnya sebelum redenominasi 1 USD = 9.000 IDR, maka setelah redenominasi 1 USD = 9 IDR. Tidak berarti setelah redenominasi lalu mata uang kita menguat jadi 1 USD = 5 IDR atau mungkin kembali ke 1 USD 2 IDR. Namun redenominasi ini bisa mendorong masyarakat untuk tidak memborong USD dan bisa berdampak pada penguatan rupiah (dalam jangka waktu yang sangat panjang, tentunya).



Kenapa tidak ditulis dengan “K” ?


Penulisan K (K=Kilo=Ribu) untuk menggantikan penulisan angka ribuan memang sudah banyak dilakukan. Menulis tahun 2000 dengan 2K, 2010 dengan 2KX, begitu juga daftar harga di cafe-cafe atau hotel. Lalu kenapa rupiah tidak ditulis dengan cara yang sama daripada redenominasi?

Karena negara lain tidak begitu, bentuk penulisan begitu juga tidak baku, hehe..sengihnampakgigi. Lagipula redenominasi belum tentu memotong 3 digit angka nol, bisa lebih bisa kurang.



Redenominasi di negara lain


Contoh negara lain yang melakukan redenominasi adalah Turki dan Rumania. Sejak 2006 lalu Turki memotong 4 digit mata uangnya dan Rumania memotong 6 digit. Ghana malah memotong sampai 12 digit.

Banyak alasan mengapa dirasa perlu melakukan redenominasi. Di Rumania, redenominasi digunakan sebagai salah satu cara untuk menandai perubahan sistem perekonomian dari sistem ekonomi komunis ke ekonomi pasar bebas. Sedangkan Turki memilih redenominasi untuk menjaga kepercayaan terhadap mata uangnya karena Lira juga beredar bebas di negara lain bersama dengan mata uang Euro.

Secara keseluruhan tujuannya sama, ingin menstabilkan perekonomian dengan menjaga nilai mata uang nasional.




Kalau Indonesia melakukan redenominasi...


Salah satu syarat utamanya adalah tingkat inflasinya stabil, pemerintah perlu menjamin bahwa pasokan bahan kebutuhan lancar sehingga harga barang tidak melonjak naik.

Sosialisasi dan perubahan sistem. Masyarakat kita kan gampang heboh, kalau heboh ini memicu kepanikan untuk memborong USD karena takut IDR enggak ada harganya, hal ini bisa menggoyahkan nilai rupiah. Masyarakat dan kalangan dunia usaha perlu diyakinkan bahwa ini hanya persoalan teknis, tidak ada hubungannya dengan harga saham atau kurs dollar.

Jangan lupa masyarakat yang ada di pelosok. Teman saya pernah cerita di suatu daerah ada tukang parkir yang tidak mau menerima pecahan uang 2000 baru karena menurutnya itu uang mainan. Padahal uang itu sudah cukup lama beredar. Sosialisasi harus merata di seluruh Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pedagang pasar di desa-desa, adik-adik yang baru belajar mengenal uang, eyang-eyang kita, dari nelayan di tepi pantai sampai mereka yang ada di puncak gunung harus paham tentang ini.

Pasti akan ada perubahan di sistem pencatatan seperti di buku tabungan, dan sistem akuntansi di perusahaan manapun. Bahkan perangko, materai, pulsa, tarif jalan tol, argo taksi pun akan ikut menyesuaikan.

Mulai dari sekarang. Kalau memang serius mau redenominasi, bersiap-siaplah dari sekarang karena kalau tidak biayanya nanti akan sangat besar. Tidak cuma biaya sosialisasi dan perubahan sistem, tapi biaya untuk mencetak uang baru juga tentunya sangat besar duit.

Butuh waktu lama untuk menyiapkan redenominasi. Kalau disetujui pemerintah, rencana ini akan dimulai tahun 2013 dengan mulai mengeluarkan 1 rupiah baru. Proses transisi ini akan kita jumpai uang lama dan uang baru, kemudian di toko-toko juga akan ada label harga lama dan harga baru. Sampai akhirnya pada tahun 2022 diharapkan seluruh mata uang rupiah lama sudah ditarik dan hanya uang rupiah baru yang berlaku.

Selesai? Belum. Berhasil atau tidaknya masih perlu dilihat selama beberapa tahun mendatang. Memang ada hal-hal lain yang jauh lebih mendesak yang perlu dipikirkan oleh Bank Indonenesia daripada redenominasi, tapi redenominasi kan memang bukan sesuatu yang bisa dilaksanakan dari sekarang?. Kita lihat saja nanti, toh sampai hari ini masih jadi wacana sengihnampakgigi.

You May Also Like

3 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Katanya, mata uang kita mau dipotong

Menurut narasi berita di teve, Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan wacana untuk memotong nilai Rupiah. Dipotong? Sanering dong, kaya waktu tahun 60an?. Oh bukan. Setelah disimak beritanya ternyata yang dimaksud bukan sanering tapi redenominasi.



Redenominasi dan sanering

Apa itu redenominasi? Mirip dengan sanering, redenominasi adalah pemotongan nilai mata uang tanpa diikuti nilai tukar atau daya belinya. Atau gampangnya, dalam redenominasi yang terjadi adalah “pemangkasan angka nol” di mata uangnya. Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang diikuti dengan pemotongan nilai tukar.

Ilustrasinya begini, misalnya Indonesia memberlakukan redenominasi dimana Rp 10.000 akan menjadi Rp 10. Harga telur dari Rp 10.000 juga akan ikut jadi Rp 10, sehingga bisa beli telur dengan pecahan Rp 10 tadi.

Kalau Indonesia memberlakukan sanering dimana Rp 10.000 sama dengan Rp 10, harga telur bisa jadi tetap Rp 10.000, sehingga untuk beli telur butuh seribu lembar Rp 10.

Sanering biasanya dilakukan saat perekonomian tidak sehat dan tingkat inflasi tinggi, sedangkan redenominasi biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi rendah dan pergerakannya stabil terkendali.



Mengapa redenominasi?


Menurut Darmin Nasution, salah satu alasan redenominasi adalah untuk memudahkan pencatatan transaksi dalam pembukuan ataupun alat hitung. Melihat semakin transaksi ekonomi yang semakin tinggi dengan nominal yang semakin besar, dikhawatirkan dengan mata uang sekarang nantinya akan kesulitan dalam pencatatan pembukuannya.

Mata uang Indonesia termasuk mata uang yang punya pecahan tertinggi di dunia, dari Rp 50, 100, 1000 sampai 100.000. Negara lain yang punya mata uang besar adalah Vietnam, yang tertinggi sampai 500.000 Dong Vietnam. Zimbabwe bahkan punya pecahan sampai dengan seratus juta Dollar Zimbabwe. Memang USA punya pecahan 100.000 USD tapi tidak dapat digunakan dalam perdagangan bebas.

Menurut beliau, ada banyak transaksi keuangan yang sekali transaksi bisa sampai 18 digit. Bayangkan bagaimana rekap transaksi itu dalam sebulan? Setahun? Dengan redenominasi ini diharapkan dapat mempermudah pencatatan dan penyebutannya. Alasannya masuk akal, walaupun menurut saya seharusnya sistem pencatatan memang sudah disiapkan untuk mengantisipasi hal ini.

Kaitannya dengan nilai tukar rupiah, redenominasi rupiah tidak berkaitan langsung dengan penguatan nilai tukar. Misalnya sebelum redenominasi 1 USD = 9.000 IDR, maka setelah redenominasi 1 USD = 9 IDR. Tidak berarti setelah redenominasi lalu mata uang kita menguat jadi 1 USD = 5 IDR atau mungkin kembali ke 1 USD 2 IDR. Namun redenominasi ini bisa mendorong masyarakat untuk tidak memborong USD dan bisa berdampak pada penguatan rupiah (dalam jangka waktu yang sangat panjang, tentunya).



Kenapa tidak ditulis dengan “K” ?


Penulisan K (K=Kilo=Ribu) untuk menggantikan penulisan angka ribuan memang sudah banyak dilakukan. Menulis tahun 2000 dengan 2K, 2010 dengan 2KX, begitu juga daftar harga di cafe-cafe atau hotel. Lalu kenapa rupiah tidak ditulis dengan cara yang sama daripada redenominasi?

Karena negara lain tidak begitu, bentuk penulisan begitu juga tidak baku, hehe..sengihnampakgigi. Lagipula redenominasi belum tentu memotong 3 digit angka nol, bisa lebih bisa kurang.



Redenominasi di negara lain


Contoh negara lain yang melakukan redenominasi adalah Turki dan Rumania. Sejak 2006 lalu Turki memotong 4 digit mata uangnya dan Rumania memotong 6 digit. Ghana malah memotong sampai 12 digit.

Banyak alasan mengapa dirasa perlu melakukan redenominasi. Di Rumania, redenominasi digunakan sebagai salah satu cara untuk menandai perubahan sistem perekonomian dari sistem ekonomi komunis ke ekonomi pasar bebas. Sedangkan Turki memilih redenominasi untuk menjaga kepercayaan terhadap mata uangnya karena Lira juga beredar bebas di negara lain bersama dengan mata uang Euro.

Secara keseluruhan tujuannya sama, ingin menstabilkan perekonomian dengan menjaga nilai mata uang nasional.




Kalau Indonesia melakukan redenominasi...


Salah satu syarat utamanya adalah tingkat inflasinya stabil, pemerintah perlu menjamin bahwa pasokan bahan kebutuhan lancar sehingga harga barang tidak melonjak naik.

Sosialisasi dan perubahan sistem. Masyarakat kita kan gampang heboh, kalau heboh ini memicu kepanikan untuk memborong USD karena takut IDR enggak ada harganya, hal ini bisa menggoyahkan nilai rupiah. Masyarakat dan kalangan dunia usaha perlu diyakinkan bahwa ini hanya persoalan teknis, tidak ada hubungannya dengan harga saham atau kurs dollar.

Jangan lupa masyarakat yang ada di pelosok. Teman saya pernah cerita di suatu daerah ada tukang parkir yang tidak mau menerima pecahan uang 2000 baru karena menurutnya itu uang mainan. Padahal uang itu sudah cukup lama beredar. Sosialisasi harus merata di seluruh Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pedagang pasar di desa-desa, adik-adik yang baru belajar mengenal uang, eyang-eyang kita, dari nelayan di tepi pantai sampai mereka yang ada di puncak gunung harus paham tentang ini.

Pasti akan ada perubahan di sistem pencatatan seperti di buku tabungan, dan sistem akuntansi di perusahaan manapun. Bahkan perangko, materai, pulsa, tarif jalan tol, argo taksi pun akan ikut menyesuaikan.

Mulai dari sekarang. Kalau memang serius mau redenominasi, bersiap-siaplah dari sekarang karena kalau tidak biayanya nanti akan sangat besar. Tidak cuma biaya sosialisasi dan perubahan sistem, tapi biaya untuk mencetak uang baru juga tentunya sangat besar duit.

Butuh waktu lama untuk menyiapkan redenominasi. Kalau disetujui pemerintah, rencana ini akan dimulai tahun 2013 dengan mulai mengeluarkan 1 rupiah baru. Proses transisi ini akan kita jumpai uang lama dan uang baru, kemudian di toko-toko juga akan ada label harga lama dan harga baru. Sampai akhirnya pada tahun 2022 diharapkan seluruh mata uang rupiah lama sudah ditarik dan hanya uang rupiah baru yang berlaku.

Selesai? Belum. Berhasil atau tidaknya masih perlu dilihat selama beberapa tahun mendatang. Memang ada hal-hal lain yang jauh lebih mendesak yang perlu dipikirkan oleh Bank Indonenesia daripada redenominasi, tapi redenominasi kan memang bukan sesuatu yang bisa dilaksanakan dari sekarang?. Kita lihat saja nanti, toh sampai hari ini masih jadi wacana sengihnampakgigi.

3 comments:

apoet said...

menghambat laju inflasi dan menghemat biaya pembuatan kertas uang kayaknya kak var :D

ratih adiwardhani said...

kertas uang? uang kertas, maksudnya? :D

bukannya sama aja, kak apoet? (thinking)

Anonymous said...

BI: Redenominasi Hemat Rp 15 Triliun dihttp://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2010/08/12/brk,20100812-270626,id.html ;D, Pa kabar nya kamu?