Mei 1998 - Mei 2010

by - May 13, 2010

Saya tidak punya banyak kenangan tentang peristiwa Mei 1998. Waktu itu saya masih kelas 6 SD dan tinggal di Malang (seperti sekarang), yang seingat saya relatif aman dari kerusuhan seperti yang terjadi di Jakarta.

Sebagai anak SD yang baru belajar tentang politik dari pelajaran IPS di sekolahnya, saya pikir masyarakat negara ini sangat menghormati Presiden dan tidak mungkin berani 'kurang ajar' pada Presiden. Saya pikir kalau kita selama ini punya Presiden yang sama selama bertahun-tahun adalah memang masyarakat menginginkan beliau untuk memimpin negara ini, bukan karena alasan lain. Kalau mau minta presiden mundur, saya pikir hal itu akan dilakukan dengan baik-baik. Saya pikir lembaga DPR/MPR adalah benar-benar wakil rakyat yang menyuarakan aspirasi rakyat, mereka betul-betul bekerja, bukan cuma rapat. Saya pikir krisis moneter yang terjadi saat itu hanya akan berlangsung sebentar dan tidak akan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Saya seperti termakan doktrin bahwa tidak ada yang salah dengan pemerintahan orde baru, sehingga rasanya aneh kalau masyarakat demo ingin menggulingkan pemerintahan. Saya pernah mendengar selentingan buruk tentang pemerintah, cuma saat itu saya tidak percaya.

Sampai hari itu. Ketika ribuan mahasiswa dengan berbagai atribut kampus turun ke jalan, berusaha menduduki gedung MPR. Semua menyuarakan suara yang sama, menuntut Presiden turun. Mahasiswa turun ke jalan dengan tangan kosong, cuma bermodal nyali, sementara yang dihadapi aparat bertameng dan bersenjata.

Entah apa pemicunya, tiba-tiba aparat dan mahasiswa saling menyerang. Aparat melemparkan gas air mata dan melepaskan tembakan. Barisan mahasiswa pecah, sebagian membubarkan diri, sebagian menyerang. Sebagian dipukuli, dianiaya, bahkan beberapa mahasiswi jadi korban pelecehan seksual. 4 Mahasiswa Trisakti tewas dalam peristiwa ini.

Belum lagi ternyata kisruh ini melebar ke isu SARA. Kaum etnis Cina jadi sasaran kekerasan. Tidak salah apa-apa dicegat, dipukuli, yang perempuan diperkosa. Bisa anda bayangkan rasanya menjadi mereka?

Kerusuhan di jalan semakin menjadi-jadi. Gedung dicoret-coret, toko-toko dilempari, dijarah, pusat perbelanjaan dibakar. Rasanya seperti semua orang sudah memendam amarahnya sekian lama dan hari itu semua sepakat untuk melampiaskan amarahnya dengan cara apapun. Apa yang bisa dirusak, dirusak. Tidak bersisa.

Ngeri.

Jakarta lumpuh. Soeharto mundur.

Peristiwa ini membukakan mata saya pada wajah bangsa ini sebenarnya. Tidak hanya pada pemerintahannya, tapi juga warganya.

12 tahun berlalu dan Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin senang unjuk rasa. Kalau dulu cuma golongan tertentu yang berani, sekarang hampir semua bisa berdemo. Masyarakat pun semakin terbiasa dengan kekerasan. Asal pukul orang, lempar batu, senjata api, bahkan meledakkan bom seenaknya. Seperti nyawa orang tidak ada artinya.

Hukum semakin mudah dipelintir. Ah bukan, dari dulu hukum bisa dipelintir, cuma saya yang tidak tahu. Yang benar bisa divonis bersalah, sedangkan yang bersalah bisa melenggang bebas. Penegakan hukum jadi cuma sekedar main-main. Coba lihat sekarang, apa kabar kasus Munir? Antasari Azhar? lalu, siapakah yang bertanggung jawab atas peristiwa Mei 1998?

Katanya reformasi. Tapi yang berubah cuma orang-orangnya. KKN masih ada. Birokrasi busuk masih jadi budaya.

12 tahun berlalu dan saya sudah bukan anak kelas 6 SD yang naif berpikir bahwa negaraku ini sempurna. Saya belajar menerima bangsa ini apa adanya, semua baik dan buruknya. Saya percaya kekuatan kaum muda sebagai penggerak bangsa ini. Saya belajar, kalau yang saya bisa cuma menghujat, bangsa ini juga tidak akan jadi lebih baik. Karena itu saya berhenti menghujat. Nanti saja lah kalau saya sudah bisa memberikan sesuatu untuk bangsa ini baru saya menghujat lagi. Atau mungkin malah diam?




Bagaimanapun saya cinta bangsa ini. Selamat malam, Indonesia.




RIP seluruh korban peristiwa kerusuhan Mei 1998. Semoga tidak terulang lagi. Amin.


.: adiwardhani :.

You May Also Like

1 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Mei 1998 - Mei 2010

Saya tidak punya banyak kenangan tentang peristiwa Mei 1998. Waktu itu saya masih kelas 6 SD dan tinggal di Malang (seperti sekarang), yang seingat saya relatif aman dari kerusuhan seperti yang terjadi di Jakarta.

Sebagai anak SD yang baru belajar tentang politik dari pelajaran IPS di sekolahnya, saya pikir masyarakat negara ini sangat menghormati Presiden dan tidak mungkin berani 'kurang ajar' pada Presiden. Saya pikir kalau kita selama ini punya Presiden yang sama selama bertahun-tahun adalah memang masyarakat menginginkan beliau untuk memimpin negara ini, bukan karena alasan lain. Kalau mau minta presiden mundur, saya pikir hal itu akan dilakukan dengan baik-baik. Saya pikir lembaga DPR/MPR adalah benar-benar wakil rakyat yang menyuarakan aspirasi rakyat, mereka betul-betul bekerja, bukan cuma rapat. Saya pikir krisis moneter yang terjadi saat itu hanya akan berlangsung sebentar dan tidak akan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Saya seperti termakan doktrin bahwa tidak ada yang salah dengan pemerintahan orde baru, sehingga rasanya aneh kalau masyarakat demo ingin menggulingkan pemerintahan. Saya pernah mendengar selentingan buruk tentang pemerintah, cuma saat itu saya tidak percaya.

Sampai hari itu. Ketika ribuan mahasiswa dengan berbagai atribut kampus turun ke jalan, berusaha menduduki gedung MPR. Semua menyuarakan suara yang sama, menuntut Presiden turun. Mahasiswa turun ke jalan dengan tangan kosong, cuma bermodal nyali, sementara yang dihadapi aparat bertameng dan bersenjata.

Entah apa pemicunya, tiba-tiba aparat dan mahasiswa saling menyerang. Aparat melemparkan gas air mata dan melepaskan tembakan. Barisan mahasiswa pecah, sebagian membubarkan diri, sebagian menyerang. Sebagian dipukuli, dianiaya, bahkan beberapa mahasiswi jadi korban pelecehan seksual. 4 Mahasiswa Trisakti tewas dalam peristiwa ini.

Belum lagi ternyata kisruh ini melebar ke isu SARA. Kaum etnis Cina jadi sasaran kekerasan. Tidak salah apa-apa dicegat, dipukuli, yang perempuan diperkosa. Bisa anda bayangkan rasanya menjadi mereka?

Kerusuhan di jalan semakin menjadi-jadi. Gedung dicoret-coret, toko-toko dilempari, dijarah, pusat perbelanjaan dibakar. Rasanya seperti semua orang sudah memendam amarahnya sekian lama dan hari itu semua sepakat untuk melampiaskan amarahnya dengan cara apapun. Apa yang bisa dirusak, dirusak. Tidak bersisa.

Ngeri.

Jakarta lumpuh. Soeharto mundur.

Peristiwa ini membukakan mata saya pada wajah bangsa ini sebenarnya. Tidak hanya pada pemerintahannya, tapi juga warganya.

12 tahun berlalu dan Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin senang unjuk rasa. Kalau dulu cuma golongan tertentu yang berani, sekarang hampir semua bisa berdemo. Masyarakat pun semakin terbiasa dengan kekerasan. Asal pukul orang, lempar batu, senjata api, bahkan meledakkan bom seenaknya. Seperti nyawa orang tidak ada artinya.

Hukum semakin mudah dipelintir. Ah bukan, dari dulu hukum bisa dipelintir, cuma saya yang tidak tahu. Yang benar bisa divonis bersalah, sedangkan yang bersalah bisa melenggang bebas. Penegakan hukum jadi cuma sekedar main-main. Coba lihat sekarang, apa kabar kasus Munir? Antasari Azhar? lalu, siapakah yang bertanggung jawab atas peristiwa Mei 1998?

Katanya reformasi. Tapi yang berubah cuma orang-orangnya. KKN masih ada. Birokrasi busuk masih jadi budaya.

12 tahun berlalu dan saya sudah bukan anak kelas 6 SD yang naif berpikir bahwa negaraku ini sempurna. Saya belajar menerima bangsa ini apa adanya, semua baik dan buruknya. Saya percaya kekuatan kaum muda sebagai penggerak bangsa ini. Saya belajar, kalau yang saya bisa cuma menghujat, bangsa ini juga tidak akan jadi lebih baik. Karena itu saya berhenti menghujat. Nanti saja lah kalau saya sudah bisa memberikan sesuatu untuk bangsa ini baru saya menghujat lagi. Atau mungkin malah diam?




Bagaimanapun saya cinta bangsa ini. Selamat malam, Indonesia.




RIP seluruh korban peristiwa kerusuhan Mei 1998. Semoga tidak terulang lagi. Amin.


.: adiwardhani :.

1 comment:

bybyq said...

Tidak perlu menghujat, namun jangan berhenti bersuara. Siapa tahu suaramu didengar... Terima kasih untuk empatinya :)