Kelabu
Dulu masuk rumah ini serasa rumah milik sendiri. Datang, lepas sepatu dan kaos kaki, cuci tangan kaki di kamar mandi samping, lalu duduk santai di ruang televisi. Meski kali ini kami menjalani ritual yang sama, namun entah mengapa detak jantungku tak karuan seolah semua ini baru pertama kalinya.
Sebenarnya 10 tahun lalu, aku sempat berkantor hanya selemparan kolor dari rumah ini. Pernah terbayang bahwa kami akan sering curi-curi waktu untuk sekadar bertemu atau makan siang bersama, tapi hingga saat ini wacana itu tetaplah wacana.
Sungguh sangat disesalkan bahwa ternyata harus kabar dukalah yang memberi jalan untuk bertemu kembali di rumah ini.
Sandal dan sepatu berserakan di tepi teras meskipun di depan garasi ada rak sepatu untuk tamu, sama seperti dulu. Bedanya kali ini di rak tersebut ada sandal dan sepatu ukuran anak-anak. Dinding krem ruang tamunya juga sudah mulai terisi coretan krayon, pertanda bahwa hidup kami sudah berjarak jauh dari masa putih abu-abu.
Ia mencoba mencairkan suasana dengan bercerita bahwa anaknya sekarang sudah tiga, anak yang pertama baru saja ujian online, anak kedua sedang cerewet-cerewetnya, sedangkan si bayi sedang belajar duduk. Setidaknya, ada senyum di wajahnya meskipun matanya berkata lain.
Persis seperti saat dulu ia memelukku, menguatkan aku ketika kehilangan dan merasa tidak tahu bagaimana harus menjalani hari esok. Aku ingin ia tahu bahwa aku masih ada untuknya, seperti ia pernah selalu ada untukku.
![]() |
Photo by Sam Willis from Pexels |
0 comments