Kelabu

by - December 19, 2020

Aku tidak ingat kapan terakhir kali ke rumah ini. Mungkin sekitar 14 atau 15 tahun lalu, waktu kami masih sama-sama kuliah tingkat 2. 

Dulu waktu seragam kami masih putih abu-abu, rumah ini bagaikan rumah kedua. Pulang sekolah, naik angkot beramai-ramai, turun di terminal, lalu jalan kaki ke rumah berpagar art deco itu. 

Sebenarnya tidak ada hal spesial yang kami lakukan di sana: makan mie instan, jajan rentengan, atau berbagi minuman soda. Benar-benar tidak ada yang spesial, tapi kehangatan rumah itu selalu menjadi tiket kami untuk kembali ke sana. 

Rumah itu jadi saksi kami menggulirkan cerita soal cinta diam-diam kami, patah hati yang menjadi-jadi, juga berbagai angan-angan dan ketakutan saat nanti kami menjadi dewasa. 

Kini ketika kami sama-sama berusia kepala 3, aku kembali menginjakkan kaki lagi ke rumah ini. Kalau dulu rumah ini sepi tak bertetangga, kali ini ia sudah punya teman di samping kiri dan kanan. Kalau dulu tidak ada pohon mangga di seberang rumah, kini keberadaan pohon itu bisa jadi penanda bagi ojek online: "seberang pohon mangga ya mas". 

Dulu masuk rumah ini serasa rumah milik sendiri. Datang, lepas sepatu dan kaos kaki, cuci tangan kaki di kamar mandi samping, lalu duduk santai di ruang televisi. Meski kali ini kami menjalani ritual yang sama, namun entah mengapa detak jantungku tak karuan seolah semua ini baru pertama kalinya.

Sebenarnya 10 tahun lalu, aku sempat berkantor hanya selemparan kolor dari rumah ini. Pernah terbayang bahwa kami akan sering curi-curi waktu untuk sekadar bertemu atau makan siang bersama, tapi hingga saat ini wacana itu tetaplah wacana.

Sungguh sangat disesalkan bahwa ternyata harus kabar dukalah yang memberi jalan untuk bertemu kembali di rumah ini.

Sandal dan sepatu berserakan di tepi teras meskipun di depan garasi ada rak sepatu untuk tamu, sama seperti dulu. Bedanya kali ini di rak tersebut ada sandal dan sepatu ukuran anak-anak. Dinding krem ruang tamunya juga sudah mulai terisi coretan krayon, pertanda bahwa hidup kami sudah berjarak jauh dari masa putih abu-abu. 

Sofanya masih sama, hanya ganti kulit dan bantalan. Ini masih sofa yang sama tempat saya dan teman-teman menumpang tidur sambil cerita macam-macam. Meski lingkar pertemanan terus berubah, tapi sofa ini tetap nyaman, seolah siap memeluk dan mendengarkan cerita setiap tamu di rumah ini. 

Aku menemuinya. Mencoba menatap matanya sambil sama-sama menguatkan diri, mencoba mengikis rasa asing yang semakin menguar. Tatapan yang beberapa menit kemudian berganti dengan tatapan kosong. Hening.

Ia mencoba mencairkan suasana dengan bercerita bahwa anaknya sekarang sudah tiga, anak yang pertama baru saja ujian online, anak kedua sedang cerewet-cerewetnya, sedangkan si bayi sedang belajar duduk. Setidaknya, ada senyum di wajahnya meskipun matanya berkata lain. 

Sejak dulu aku suka mendengarnya cerita. Ia memahami dan tidak menghakimi. Ia tahu kapan harus diam mendengar dan kapan harus bicara. Ia tahu kapan harus diam menerima, dan kapan harus meminta. Sepertinya itulah yang membuatnya menjadi sahabat bagi semua orang, dan rumahnya adalah rumah bagi semua orang. 

Namun saat itu ia lebih banyak diam, membiarkan teman kami satu lagi yang lebih banyak bercerita. Sesekali pikirannya melayang entah ke mana. Seperti ketika ia tidak mendengar panggilan anak sulungnya, atau ketika ia tak menyadari bahwa si bungsu sudah pulas di pangkuannya dan perlu dipindah ke kasur. 

Seandainya bisa, sungguh aku ingin memeluknya lama, membiarkan ia menumpahkan semua yang tertahan. Aku sungguh tak keberatan jika siang itu harus menjadi sesi tangis-tangisan, asal dia bisa sedikit lebih lega. 

Persis seperti saat dulu ia memelukku, menguatkan aku ketika kehilangan dan merasa tidak tahu bagaimana harus menjalani hari esok. Aku ingin ia tahu bahwa aku masih ada untuknya, seperti ia pernah selalu ada untukku. 



Hujan di bulan desember, rain, gloomy rain, hujan
Photo by Sam Willis from Pexels

Langit sudah semakin gelap ketika aku memutuskan untuk pulang. Masih ada rindu yang belum tuntas, masih ada tumpukan cerita yang belum bertemu ujungnya, tapi ia sedang butuh waktu untuk menyelami perasaannya sendiri. Saatnya kami pulang ke keluarga kami masing-masing.  

Di tengah rintik hujan yang perlahan semakin deras, aku mengulang doa yang sedari tadi kuucapkan, semoga ia selalu diberi kekuatan dan tak pernah kehilangan harapan. 


Araya, 15 Desember 2020. 








You May Also Like

0 comments

Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Kelabu

Aku tidak ingat kapan terakhir kali ke rumah ini. Mungkin sekitar 14 atau 15 tahun lalu, waktu kami masih sama-sama kuliah tingkat 2. 

Dulu waktu seragam kami masih putih abu-abu, rumah ini bagaikan rumah kedua. Pulang sekolah, naik angkot beramai-ramai, turun di terminal, lalu jalan kaki ke rumah berpagar art deco itu. 

Sebenarnya tidak ada hal spesial yang kami lakukan di sana: makan mie instan, jajan rentengan, atau berbagi minuman soda. Benar-benar tidak ada yang spesial, tapi kehangatan rumah itu selalu menjadi tiket kami untuk kembali ke sana. 

Rumah itu jadi saksi kami menggulirkan cerita soal cinta diam-diam kami, patah hati yang menjadi-jadi, juga berbagai angan-angan dan ketakutan saat nanti kami menjadi dewasa. 

Kini ketika kami sama-sama berusia kepala 3, aku kembali menginjakkan kaki lagi ke rumah ini. Kalau dulu rumah ini sepi tak bertetangga, kali ini ia sudah punya teman di samping kiri dan kanan. Kalau dulu tidak ada pohon mangga di seberang rumah, kini keberadaan pohon itu bisa jadi penanda bagi ojek online: "seberang pohon mangga ya mas". 

Dulu masuk rumah ini serasa rumah milik sendiri. Datang, lepas sepatu dan kaos kaki, cuci tangan kaki di kamar mandi samping, lalu duduk santai di ruang televisi. Meski kali ini kami menjalani ritual yang sama, namun entah mengapa detak jantungku tak karuan seolah semua ini baru pertama kalinya.

Sebenarnya 10 tahun lalu, aku sempat berkantor hanya selemparan kolor dari rumah ini. Pernah terbayang bahwa kami akan sering curi-curi waktu untuk sekadar bertemu atau makan siang bersama, tapi hingga saat ini wacana itu tetaplah wacana.

Sungguh sangat disesalkan bahwa ternyata harus kabar dukalah yang memberi jalan untuk bertemu kembali di rumah ini.

Sandal dan sepatu berserakan di tepi teras meskipun di depan garasi ada rak sepatu untuk tamu, sama seperti dulu. Bedanya kali ini di rak tersebut ada sandal dan sepatu ukuran anak-anak. Dinding krem ruang tamunya juga sudah mulai terisi coretan krayon, pertanda bahwa hidup kami sudah berjarak jauh dari masa putih abu-abu. 

Sofanya masih sama, hanya ganti kulit dan bantalan. Ini masih sofa yang sama tempat saya dan teman-teman menumpang tidur sambil cerita macam-macam. Meski lingkar pertemanan terus berubah, tapi sofa ini tetap nyaman, seolah siap memeluk dan mendengarkan cerita setiap tamu di rumah ini. 

Aku menemuinya. Mencoba menatap matanya sambil sama-sama menguatkan diri, mencoba mengikis rasa asing yang semakin menguar. Tatapan yang beberapa menit kemudian berganti dengan tatapan kosong. Hening.

Ia mencoba mencairkan suasana dengan bercerita bahwa anaknya sekarang sudah tiga, anak yang pertama baru saja ujian online, anak kedua sedang cerewet-cerewetnya, sedangkan si bayi sedang belajar duduk. Setidaknya, ada senyum di wajahnya meskipun matanya berkata lain. 

Sejak dulu aku suka mendengarnya cerita. Ia memahami dan tidak menghakimi. Ia tahu kapan harus diam mendengar dan kapan harus bicara. Ia tahu kapan harus diam menerima, dan kapan harus meminta. Sepertinya itulah yang membuatnya menjadi sahabat bagi semua orang, dan rumahnya adalah rumah bagi semua orang. 

Namun saat itu ia lebih banyak diam, membiarkan teman kami satu lagi yang lebih banyak bercerita. Sesekali pikirannya melayang entah ke mana. Seperti ketika ia tidak mendengar panggilan anak sulungnya, atau ketika ia tak menyadari bahwa si bungsu sudah pulas di pangkuannya dan perlu dipindah ke kasur. 

Seandainya bisa, sungguh aku ingin memeluknya lama, membiarkan ia menumpahkan semua yang tertahan. Aku sungguh tak keberatan jika siang itu harus menjadi sesi tangis-tangisan, asal dia bisa sedikit lebih lega. 

Persis seperti saat dulu ia memelukku, menguatkan aku ketika kehilangan dan merasa tidak tahu bagaimana harus menjalani hari esok. Aku ingin ia tahu bahwa aku masih ada untuknya, seperti ia pernah selalu ada untukku. 



Hujan di bulan desember, rain, gloomy rain, hujan
Photo by Sam Willis from Pexels

Langit sudah semakin gelap ketika aku memutuskan untuk pulang. Masih ada rindu yang belum tuntas, masih ada tumpukan cerita yang belum bertemu ujungnya, tapi ia sedang butuh waktu untuk menyelami perasaannya sendiri. Saatnya kami pulang ke keluarga kami masing-masing.  

Di tengah rintik hujan yang perlahan semakin deras, aku mengulang doa yang sedari tadi kuucapkan, semoga ia selalu diberi kekuatan dan tak pernah kehilangan harapan. 


Araya, 15 Desember 2020. 








No comments: